RESUME
ANALISIS KETIMPANGAN
GENDER DALAM PROSES PEMBANGUNAN
(Sebuah Tinjauan
Sosiologi Historis Terhadap Partisipasi Perempuan
Di Bidang Pendidikan)
Zusmelia
Jurnal
Pelangi, 2012 STKIP PGRI Sumatera Barat
Abstrak: Terlepas dari
pengenalan posisi dan hak perempuan yang
telah mengalami
kemajuan hal tentang keadilan yang
formal. Bagaimanapun, ketika dilihat dari anugrah yang diperoleh, tapi
untuk kesamaan genus, taraf praktis
masih tidak dorong. Perempuan masih seperti bawahan laki-laki, berbeda pada status
dan keluarga / peralatan rumah tangga. Fokus utama dari artikel
ini mendiskusikan tentang ketidaksamaan genus dalam hubungan dengan Pendidikan,
dan proses perkembangan di Indonesia.
Taraf rendah dari Pendidikan adalah satu hal dari perempuan yang dapat
mengambil mereka dari salah satu sector terbuka seperti
ekonomi, politik, kesehatan dan sebagainya. Ini sehubungan dengan: 1 ) lebih
tinggi taraf Pendidikan yang punya terbatas angka dari sekolah, 2 ) lebih
tinggi taraf bidang pendidikan semakin besar semakin merugikan, 3 ) sektor
budaya, asumsikan yang bahwa anak
perempuan tidak memerlukan sekolah menengah, sehingga ini adalah sekedar sekolah dasar atau sekolah menengah pertama.
Itulah kenapa pemerintah yang selalu telah berusaha berbagai bentuk bisnis /
memprogram arah itu untuk meningkatkan mutu dari perempuan selama bertahun. Meningkatkan
mutu Pendidikan dari perempuan
akan mempengaruhi kesuburan
ekonomi, sosial,
budaya, dan kesehatan.
Dugaan ini adalah dikuatkan oleh peran peningkatan dari ibu sebagai ibukota
sosial pada lingkungan. Kondisi ini akan disadari dengan hormat ke emisi bidang
pendidikan pertama. Pendidikan rendah akan mustahil untuk satu wanita untuk
pergi ke dalam sektor publik atau ke membawa perubahan. Dengan keikutsertaan
peningkatan Pendidikan
dari perempuan untuk masa depan,
perempuan akan mencapai pendapatan yang cukup dari waktu yang telah ia
kerjakan.
Kata kunci : Ketidaksamaan genus, Pembangunan, Keikut
Sertaan perempuan
Sesungguhnya hak-hak perempuan di
Indonesia telah diakui dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segenap warga
negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum” (pasal 27). Salah satu
bentuk pengaplikasian pengakuan tersebut pada tahun 1990, Indonesia telah
meratifikasi Konvensi PBB untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan
dan konvensi ILO No. 100 mengenai tekad akan kesetaraan gaji untuk pekerjaan
yang sama. Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) memasukkan satu bab yang khusus membahas peran perempuan dalam
pembangunan nasional dan menciptakan jabatan Menteri Muda untuk Urusan
Perempuan yang kemudian berubah menjadi departemen penuh tahun 1983 (Mishra,
2001).
Sekalipun kemajuan secara yuridis
formal telah memperlihatkan kearah perbaikan posisi dan hak-hak wanita, akan
tetapi pandangan umum tentang feminitas-yang pada masa Orde Baru mendapat
dukungan yang sangat seriusmenggambarkan perempuan sebagai subordinat
laki-laki, baik dalam bernegara maupun dalam keluarga/rumahtangga. Kelihatan
sekali adanya usaha memaksakan suatu pandangan yang seragam mengenai peran
sosial perempuan dari beragam hubungan gender di seluruh wilayah Indonesia.
Demikian juga juga halnya dalam kebijakan,
asumsi, ataupun pendokumentasian terlihat adanya sikap ambigu. Seperti, dalam
survei-survei resmi, cenderung diasumsikan bahwa kepala rumah tangga adalah
laki-laki sekalipun yang menjadi kepala rumah tangga adalah seorang janda.
Sungguhpun demikian, terdapat beberapa perubahan dalam retorika kebijakan resmi
di awal tahun 1990-an, yang menggambarkan komitmen terhadap kesetaraan gender
yang dinyatakan sebagai “kemitrasejajaran” atau “kemitraan gender” (Robinson,
1999 dalam Mishra, 2001).
Disamping itu, proses pembangunan yang
berlangsung di Indonesia selama ini, terutama pada masa Orde Baru, yang
cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagai salah satu
cara/peluang mengejar ketertinggalan dan memacu petumbuhan. Kebijakan yang
ditempuh tersebut tentunya juga telah membawa pengaruh terhadap perempuan baik
perempuan di perkotaan maupun di pedesaan, juga dari segi pendidikan,
kesehatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya.
Hasil perjuangan wanita Indonesia yang
di rintis oleh Ibu Kartini telah membuahkan hasilnya, yaitu semua wanita
Indonesia – tanpa dibedakan kelas sosialnya dalam masyarakat, secara hukum
telah memperoleh hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki.
Dalam repelita V 1989/1990-1993/1994,
program pembangunan wanita diutamakan untuk mengatasi kemiskinan, meningkatkan
kualitas kehidupan, dan mengembangkan peran-serta masyarakat khususnya wanita
kelompok rawan, yaitu wanita yang berpendapatan rendah, wanita yang tinggal di
daerah terpencil, wanita yang menjadi kepala keluaraga atau wanita muda berusia
15-29 tahun (Wibisana dalam Ihromi 1995).
Selanjutnya bila dlihat, wanita secara
kodrati dapat dikatakan memegang fungsi sentral dalam keluarga, yakni sebagai ibu
rumah tangga, namun tidak berarti ia hanya sebagai ‘ibu biologis’ melainkan
juga sebagai ‘ibu sosial’ yang mencakup ruang lingkup sosial/publik (Djajadiningrat,
1987 dalam Van Bemmelen 1993). Bahkan sumberdaya ekonomi wanita tidak kalah
jika dibandingkan dengan pria. Dengan demikian keberadaan wanita dalam rumah
tangga tidak hanya sekedar sebagai fungsi reproduktif saja, namun mereka juga
berperan aktif dalam menunjang ekonomi rumah tangga.
Dilihat dari jumlah, penduduk tahun
1980 jumlah penduduk Indonesia adalah 147.490.298 jiwa. Sebanyak 74.157.754
diantaranya adalah perempuan. Untuk hasil sensus tahun 2000, penduduk Indonesia
berjumlah 201.241.999 jiwa, dan sebanyak 100.307.037 diantaranya adalah
perempuan. Ini berarti hasil sensus di atas, lebih dari 50% jumlah penduduk di
Indonesia adalah perempuan. Dapat dikatakan perempuan sebagai sumberdaya
manusia memiliki potensi yang sangat besar dalam proses pembangunan. Peran
wanita dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai
subjek pembangunan.
Melihat pada keadaan di atas,
pemerintah, diawali pada tahun 1978 sampai sekarang, telah mengimplementasikan
program pembangunan yang ditujukan untuk memberdayakan kaum perempuan. Dalam
perkembangannya upaya tersebut dalam bebagai bidang telah menghasilkan suatu
peningkatan kondisi, derajad, dan kualitas hidup kaum wanita di berbagai bidang
seperti bidang pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan dan politik,
serta aspek lainnya. Akan tetapi masih ditemukan adanya ketimpangan peran dan
hubungan sosial antara wanita dan pria terutama dalam akses, kontrol,
partisipasi, dan manfaat pembangunan bagi wanita itu sendiri (BPS, 2010).
Secara historis maupun yuridis, ‘ruang-ruang
pengakuan’ yang telah diberikan pada wanita atau yang berkaitan dengan
gender dalam proses pembangunan di Indonesia selama ini patut untuk di
apresiasi positif. Artinya, sejumlah kemajuan telah dicapai. Kondisi ini dapat
dilihat dari rasio gender murid bersekolah yang terus mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Seperti yang terlihat pada tabel 1 di bawah ini, bahwa dari
tahun 1970 hingga tahun 1990 terlihat bahwa telah terjadi peningkatan
partisipasi perempuan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar
(SD) hingga tingkat perguruan tinggi (PT). Namun dibandingkan dengan tingkat
partisipasi anak laki-laki terlihat bahwa partisipasi perempuan masih rendah.
Tabel 1. Ratio Gender (P/100 L)
Penduduk Indonesia yang Sekolah Menurut
Kelompok Umur dan Tempat Tinggal,
1971-1990.
Tabel di atas juga memperlihatkan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil tingkat partisipasi
anak perempuan dibanding anak laki-laki. Terlihat bahwa untuk umur 19-24,
tingkat partisipasi anak perempuan yang bersekolah (di perguruan tinggi)
hanya mencapai sekitar 50%, atau separo dari partisipasi anak laki-laki.
Kecenderungan rendahnya angka partisipasi perempuan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti
yang diungkapkan Franklin (2002), dalam artikelnya yang berjudul “The
Changing Status of Women in Asia Societies” sampai sekarang ini di
sebahagian besar negara-negara Asia, masih sedikit wanita yang
melanjutkan sekolah ke tingkat secondary school atau ke tingkat
universitas. Juga masih sedikit wanita yang bekerja di luar rumah
(sektor publik).
Menurut Suleman dalam Ihromi (1995), ada
tiga alasan yang menjelaskan sebab rendahnya partisipasi wanita dalam
pendidikan untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah disebabkan :
1.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia.
Persoalan baru muncul, karena SD hampir terdapat disetiap desa di Indonesia.
Ketika sudah harus melanjutkan ke tingkat SLTP, masalah jarak yang jauh menjadi
kendala, karena SLTP cenderung letaknya di ibukota kabupaten, akibatnya orang
tua kadangkala enggan memasukkan anaknya sekolah.
2.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar biaya yang dibutuhkan. Artinya
faktor ekonomi juga sangat berperan dalam menentukan kelansungan sekolah si
anak.
3.
Faktor budaya, yang menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi,
jadi cukup hanya sampai SD atau SMP saja. Anak perempuan lebih baik membantu
pekerjaan ibunya atau sudah harus berkeluarga.
Dilihat dari angka melek huruf perempuan
juga terjadi penurunan yakni dari 69% pada tahun 1961 m ke tahun 1999, terjadi
peningkatan, yakni dari 17% perempuan yang melek huruf menurun menjadi 14% di
tahun 1996. Sedangkan untuk laki menjadi 6%.
Dengan demikian pembangunan di bidang
pendidikan telah mempengaruhi partisipasi perempuan di bidang pendidikan,
penurunan persentase melek huruf, penundaan usia perkawinan dan akhirnya mempengaruhi
persentase wanita dalam angkatan kerja (persentase wanita berpartisipasi di
sektor publik), yang pada gilirannya akan berpengaruh/mempengaruhi tingkat
fertilitas di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Siregar, bahwa semakin tinggi
peran perempuan di luar rumah (di sektor publik), menunjukkan adanya
kecenderungan penurunan fertilitas (Siregar, 1999).
Peningkatan peran serta wanita dalam
kegiatan pendidikan untuk semua tingkatan telah terjadi secara menyeluruh.
Peningkatan tersebut tentunya akan berakibat terhadap keterlibatan wanita dalam
berbagai bidang pekerjaan (di sektor publik). Di Indonesia gejala ini semangkin
jelas kelihatan sejak tahun 1980-an, dimana dilihat dari Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia dari 32,6% tahun 1980 meningkat
menjadi sebesar 38,8% pada tahun 1990, kemudian untuk tahun 2000, TPAK
perempuan meningkat menjadi 40,14% (BPS, 1997 dan 2000).
Data statistik menunjukkan bahwa
status pekerjaan laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan sebahagian besar
bekerja tidak dibayar (35,67%), untuk daerah pedesaan jelas sekali bahwa
sebahagian besar perempuan bekerja sebagai pekerjaan tak di bayar (47,51)
begitu juga di perkotaan. Sebaliknya laki-laki sebagian besar bekerja sebagai
pekerja di bayar yakni 37,51%. Gejala ini jelas mengindikasikan bahwa
ketimpangan gender masih besar dalam hal status pekerjaan utama. Ini tentunya
tidak terlepas dari pengaruh tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh si wanita.
Kenapa demikian? Jelas untuk wanita yang berpendidikan tinggi, jelas ia tidak
akan mau menjadi pekerja tidak dibayar. Berarti perempuan yang terjaring kategori
ini adalah perempuan yang berpendidikan rendah. Disinilah awal terjadi ketimpangan
penghargaan terhadap pekerjaan antara laki-laki dan wanita.
Bila dikaitkan dengan partisipasi perempuan
di bidang pendidikan, dengan pekerjaan sebagai buruh/karyawan, gejala ini
mengindikasikan bahwa 50,88% diperkotaan, 19,93% di pedesaan dan 35,67% secara
keseluruhan dapat dikatakan mereka yang terlibat dalam status pekerjaan utama
ini adalah berpendidikan Sekolah Menengah (SM) ke bawah. Karena akses mereka
untuk berusaha sendiri atau dibantu buruh tetap jelas kecil sekali mengingat
dilihat dari kemampuan mereka melanjutkan sekolah kecil. Berarti secara ekonomi
mereka lemah, satu-satunya pilihan, dengan pendidikan SD, SLTP atau SLTA,
adalah bekerja di pabrik-pabrik atau menjadi buruh tani di pedesaan.
Secara nasional persentase penduduk
yang digolongkan bekerja penuh adalah berkisar 60,70%. Diperkotaan penduduk
yang bekerja penuh sebesar 77,05% sedangkan di pedesaan hanya 50,59%. Dilihat
dari jenis kelamin, lebih dari 65% penduduk laki-laki bekerja penuh dalam
seminggu. Sedangkan perempuan masih di bawah 50%. Namun untuk pedesaan penduduk
perempuan yang bekerja penuh sebanyak 39,92% jauh rendahnya dari anggka yang
dicapai laki-laki 58,67%. Tabel berikut ini akan memperlihatkan jumlah jam
kerja dalam seminggu, menurut jenis kelamin dan tipe daerah.
Selanjutnya juka ditinjau dari segi lapangan
pekerjaan utama, penduduk perempuan yang terkategori bekerja sebanyak 65,55%
perempuan pedesaan bekerja di sektor pertanian, dan sebesar 36,03 perempuan di
perkotaan yang bekerja, mereka dengan lapangan usaha utama sektor perdagangan.
Dilihat dari perbedaan gender, sektor perdagaangan dan industri di perkotaan
maupun di pedesaan didominasi oleh perempuan. Sedangkan untuk bidang konstruksi
dan komunikasi didominasi oleh laki-laki. Semakin jelas bahwa gejala ini
mengindikasikan dan sangat erat kaitannya dengan partisipasi wanita di bidang
pendidikan (yang rendah dibanding laki-laki), akibatnya perempuan lebih banyak
bekerja di sektor pertanian dan menjadi buruh. Sedangkan laki-laki dengan pendidikan
yang baik dapat lebih berpartisipasi di dunia kerja yang lebih baik.
Dengan melihat gejala atau
kecenderungan partisipasi wanita di bidang pendidikan semakin jelaslah bagi kita
bagaimana dampaknya terhadap partisipasi wanita di luar rumah. Dapat dikatakan
bahwa partisipasi di bidang pendidikan dengan angkatan kerja memiliki hubungan
yang sangat erat sekali. Kesetaaraan gender yang di inginkan wanita susah untuk
di wujudkan jika si wanita partisipasinya di bidang pendidikan rendah.
Dengan demikian pendidikan perempuan
yang baik akan berpengaruh kepada kehidupan ekonomi, sosial, budaya, kesehatan
dan yang lainnya yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap angka
fertilitas. Asumsi ini diperkuat dengan semakin meningkatnya peran ibu sebagai
ibu sosial di lingkungannya. Nah, untuk terjun ke dalam masyarakat tersebutlah
faktor pendidikan harus mendapat perhatian terlebih dahulu. Tanpa pendidikan
yang memadai akan mustahil bagi perempuan untuk terjun ke sektor publik atau
untuk mengemban tugas berat tersebut. Dengan meningkatnya partisipasi wanita di
bidang pendidikan untuk kedepanya jumlah jam kerja dengan pendapatan yang
memadai, akan bisa diraih perempuan. Namun akankah itu menjadi kenyataan atau
hanya sekedar sebuah harapan, perbaikan kondisi perekonomian kita merupakan
salah satu jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar