Kamis, 25 Desember 2014

Tugas Resume Sosiologi Pedesaan



RESUME
ANALISIS KETIMPANGAN GENDER DALAM PROSES PEMBANGUNAN
(Sebuah Tinjauan Sosiologi Historis Terhadap Partisipasi Perempuan
Di Bidang Pendidikan)
Zusmelia
Jurnal Pelangi, 2012 STKIP PGRI Sumatera Barat

Abstrak: Terlepas dari pengenalan posisi dan hak perempuan yang telah mengalami  kemajuan hal tentang keadilan yang formal. Bagaimanapun, ketika dilihat dari anugrah yang diperoleh, tapi untuk  kesamaan genus, taraf praktis masih tidak dorong. Perempuan masih seperti bawahan laki-laki, berbeda pada status dan keluarga / peralatan rumah tangga. Fokus utama dari  artikel ini mendiskusikan tentang ketidaksamaan genus dalam hubungan dengan Pendidikan, dan  proses perkembangan di Indonesia. Taraf rendah dari Pendidikan adalah satu hal dari perempuan yang dapat mengambil mereka dari salah satu sector terbuka seperti ekonomi, politik, kesehatan dan sebagainya. Ini sehubungan dengan: 1 ) lebih tinggi taraf Pendidikan yang punya terbatas angka dari sekolah, 2 ) lebih tinggi taraf bidang pendidikan semakin besar semakin merugikan, 3 ) sektor budaya,  asumsikan yang bahwa anak perempuan tidak memerlukan sekolah menengah, sehingga ini adalah sekedar sekolah dasar  atau sekolah menengah pertama. Itulah kenapa pemerintah yang selalu telah berusaha berbagai bentuk bisnis / memprogram arah itu untuk meningkatkan mutu dari perempuan selama bertahun. Meningkatkan mutu Pendidikan dari perempuan akan mempengaruhi kesuburan ekonomi, sosial, budaya, dan kesehatan. Dugaan ini adalah dikuatkan oleh peran peningkatan dari ibu sebagai ibukota sosial pada lingkungan. Kondisi ini akan disadari dengan hormat ke emisi bidang pendidikan pertama. Pendidikan rendah akan mustahil untuk satu wanita untuk pergi ke dalam sektor publik atau ke membawa perubahan. Dengan keikutsertaan peningkatan Pendidikan dari perempuan untuk masa depan, perempuan akan mencapai pendapatan yang cukup dari waktu yang telah ia kerjakan.
Kata kunci : Ketidaksamaan genus, Pembangunan, Keikut Sertaan perempuan
Sesungguhnya hak-hak perempuan di Indonesia telah diakui dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segenap warga negara memiliki persamaan kedudukan di hadapan hukum” (pasal 27). Salah satu bentuk pengaplikasian pengakuan tersebut pada tahun 1990, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB untuk menghilangkan diskriminasi terhadap perempuan dan konvensi ILO No. 100 mengenai tekad akan kesetaraan gaji untuk pekerjaan yang sama. Pada tahun 1978, untuk pertama kalinya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) memasukkan satu bab yang khusus membahas peran perempuan dalam pembangunan nasional dan menciptakan jabatan Menteri Muda untuk Urusan Perempuan yang kemudian berubah menjadi departemen penuh tahun 1983 (Mishra, 2001).
Sekalipun kemajuan secara yuridis formal telah memperlihatkan kearah perbaikan posisi dan hak-hak wanita, akan tetapi pandangan umum tentang feminitas-yang pada masa Orde Baru mendapat dukungan yang sangat seriusmenggambarkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, baik dalam bernegara maupun dalam keluarga/rumahtangga. Kelihatan sekali adanya usaha memaksakan suatu pandangan yang seragam mengenai peran sosial perempuan dari beragam hubungan gender di seluruh wilayah Indonesia.
Demikian juga juga halnya dalam kebijakan, asumsi, ataupun pendokumentasian terlihat adanya sikap ambigu. Seperti, dalam survei-survei resmi, cenderung diasumsikan bahwa kepala rumah tangga adalah laki-laki sekalipun yang menjadi kepala rumah tangga adalah seorang janda. Sungguhpun demikian, terdapat beberapa perubahan dalam retorika kebijakan resmi di awal tahun 1990-an, yang menggambarkan komitmen terhadap kesetaraan gender yang dinyatakan sebagai “kemitrasejajaran” atau “kemitraan gender” (Robinson, 1999 dalam Mishra, 2001).
Disamping itu, proses pembangunan yang berlangsung di Indonesia selama ini, terutama pada masa Orde Baru, yang cenderung mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang dianggap sebagai salah satu cara/peluang mengejar ketertinggalan dan memacu petumbuhan. Kebijakan yang ditempuh tersebut tentunya juga telah membawa pengaruh terhadap perempuan baik perempuan di perkotaan maupun di pedesaan, juga dari segi pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja, dan lain sebagainya.
Hasil perjuangan wanita Indonesia yang di rintis oleh Ibu Kartini telah membuahkan hasilnya, yaitu semua wanita Indonesia – tanpa dibedakan kelas sosialnya dalam masyarakat, secara hukum telah memperoleh hak dan kesempatan yang sama seperti laki-laki.
Dalam repelita V 1989/1990-1993/1994, program pembangunan wanita diutamakan untuk mengatasi kemiskinan, meningkatkan kualitas kehidupan, dan mengembangkan peran-serta masyarakat khususnya wanita kelompok rawan, yaitu wanita yang berpendapatan rendah, wanita yang tinggal di daerah terpencil, wanita yang menjadi kepala keluaraga atau wanita muda berusia 15-29 tahun (Wibisana dalam Ihromi 1995).
Selanjutnya bila dlihat, wanita secara kodrati dapat dikatakan memegang fungsi sentral dalam keluarga, yakni sebagai ibu rumah tangga, namun tidak berarti ia hanya sebagai ‘ibu biologis’ melainkan juga sebagai ‘ibu sosial’ yang mencakup ruang lingkup sosial/publik (Djajadiningrat, 1987 dalam Van Bemmelen 1993). Bahkan sumberdaya ekonomi wanita tidak kalah jika dibandingkan dengan pria. Dengan demikian keberadaan wanita dalam rumah tangga tidak hanya sekedar sebagai fungsi reproduktif saja, namun mereka juga berperan aktif dalam menunjang ekonomi rumah tangga.
Dilihat dari jumlah, penduduk tahun 1980 jumlah penduduk Indonesia adalah 147.490.298 jiwa. Sebanyak 74.157.754 diantaranya adalah perempuan. Untuk hasil sensus tahun 2000, penduduk Indonesia berjumlah 201.241.999 jiwa, dan sebanyak 100.307.037 diantaranya adalah perempuan. Ini berarti hasil sensus di atas, lebih dari 50% jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan. Dapat dikatakan perempuan sebagai sumberdaya manusia memiliki potensi yang sangat besar dalam proses pembangunan. Peran wanita dalam proses pembangunan tidak hanya sebagai objek tapi juga sebagai subjek pembangunan.
Melihat pada keadaan di atas, pemerintah, diawali pada tahun 1978 sampai sekarang, telah mengimplementasikan program pembangunan yang ditujukan untuk memberdayakan kaum perempuan. Dalam perkembangannya upaya tersebut dalam bebagai bidang telah menghasilkan suatu peningkatan kondisi, derajad, dan kualitas hidup kaum wanita di berbagai bidang seperti bidang pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan dan politik, serta aspek lainnya. Akan tetapi masih ditemukan adanya ketimpangan peran dan hubungan sosial antara wanita dan pria terutama dalam akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat pembangunan bagi wanita itu sendiri (BPS, 2010).
Secara historis maupun yuridis, ‘ruang-ruang pengakuan’ yang telah diberikan pada wanita atau yang berkaitan dengan gender dalam proses pembangunan di Indonesia selama ini patut untuk di apresiasi positif. Artinya, sejumlah kemajuan telah dicapai. Kondisi ini dapat dilihat dari rasio gender murid bersekolah yang terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Seperti yang terlihat pada tabel 1 di bawah ini, bahwa dari tahun 1970 hingga tahun 1990 terlihat bahwa telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga tingkat perguruan tinggi (PT). Namun dibandingkan dengan tingkat partisipasi anak laki-laki terlihat bahwa partisipasi perempuan masih rendah.


Tabel 1. Ratio Gender (P/100 L) Penduduk Indonesia yang Sekolah Menurut
Kelompok Umur dan Tempat Tinggal, 1971-1990.

Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil tingkat partisipasi anak perempuan dibanding anak laki-laki. Terlihat bahwa untuk umur 19-24, tingkat partisipasi anak perempuan yang bersekolah (di perguruan tinggi) hanya mencapai sekitar 50%, atau separo dari partisipasi anak laki-laki. Kecenderungan rendahnya angka partisipasi perempuan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, seperti yang diungkapkan Franklin (2002), dalam artikelnya yang berjudul “The Changing Status of Women in Asia Societies” sampai sekarang ini di sebahagian besar negara-negara Asia, masih sedikit wanita yang melanjutkan sekolah ke tingkat secondary school atau ke tingkat universitas. Juga masih sedikit wanita yang bekerja di luar rumah (sektor publik).
Menurut Suleman dalam Ihromi (1995), ada tiga alasan yang menjelaskan sebab rendahnya partisipasi wanita dalam pendidikan untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi adalah disebabkan :
1. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin terbatas jumlah sekolah yang tersedia. Persoalan baru muncul, karena SD hampir terdapat disetiap desa di Indonesia. Ketika sudah harus melanjutkan ke tingkat SLTP, masalah jarak yang jauh menjadi kendala, karena SLTP cenderung letaknya di ibukota kabupaten, akibatnya orang tua kadangkala enggan memasukkan anaknya sekolah.
2. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar biaya yang dibutuhkan. Artinya faktor ekonomi juga sangat berperan dalam menentukan kelansungan sekolah si anak.
3. Faktor budaya, yang menganggap bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, jadi cukup hanya sampai SD atau SMP saja. Anak perempuan lebih baik membantu pekerjaan ibunya atau sudah harus berkeluarga.
Dilihat dari angka melek huruf perempuan juga terjadi penurunan yakni dari 69% pada tahun 1961 m ke tahun 1999, terjadi peningkatan, yakni dari 17% perempuan yang melek huruf menurun menjadi 14% di tahun 1996. Sedangkan untuk laki menjadi 6%.
Dengan demikian pembangunan di bidang pendidikan telah mempengaruhi partisipasi perempuan di bidang pendidikan, penurunan persentase melek huruf, penundaan usia perkawinan dan akhirnya mempengaruhi persentase wanita dalam angkatan kerja (persentase wanita berpartisipasi di sektor publik), yang pada gilirannya akan berpengaruh/mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia. Hal ini sejalan dengan Siregar, bahwa semakin tinggi peran perempuan di luar rumah (di sektor publik), menunjukkan adanya kecenderungan penurunan fertilitas (Siregar, 1999).
Peningkatan peran serta wanita dalam kegiatan pendidikan untuk semua tingkatan telah terjadi secara menyeluruh. Peningkatan tersebut tentunya akan berakibat terhadap keterlibatan wanita dalam berbagai bidang pekerjaan (di sektor publik). Di Indonesia gejala ini semangkin jelas kelihatan sejak tahun 1980-an, dimana dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita di Indonesia dari 32,6% tahun 1980 meningkat menjadi sebesar 38,8% pada tahun 1990, kemudian untuk tahun 2000, TPAK perempuan meningkat menjadi 40,14% (BPS, 1997 dan 2000).
Data statistik menunjukkan bahwa status pekerjaan laki-laki dan perempuan berbeda. Perempuan sebahagian besar bekerja tidak dibayar (35,67%), untuk daerah pedesaan jelas sekali bahwa sebahagian besar perempuan bekerja sebagai pekerjaan tak di bayar (47,51) begitu juga di perkotaan. Sebaliknya laki-laki sebagian besar bekerja sebagai pekerja di bayar yakni 37,51%. Gejala ini jelas mengindikasikan bahwa ketimpangan gender masih besar dalam hal status pekerjaan utama. Ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh si wanita. Kenapa demikian? Jelas untuk wanita yang berpendidikan tinggi, jelas ia tidak akan mau menjadi pekerja tidak dibayar. Berarti perempuan yang terjaring kategori ini adalah perempuan yang berpendidikan rendah. Disinilah awal terjadi ketimpangan penghargaan terhadap pekerjaan antara laki-laki dan wanita.
Bila dikaitkan dengan partisipasi perempuan di bidang pendidikan, dengan pekerjaan sebagai buruh/karyawan, gejala ini mengindikasikan bahwa 50,88% diperkotaan, 19,93% di pedesaan dan 35,67% secara keseluruhan dapat dikatakan mereka yang terlibat dalam status pekerjaan utama ini adalah berpendidikan Sekolah Menengah (SM) ke bawah. Karena akses mereka untuk berusaha sendiri atau dibantu buruh tetap jelas kecil sekali mengingat dilihat dari kemampuan mereka melanjutkan sekolah kecil. Berarti secara ekonomi mereka lemah, satu-satunya pilihan, dengan pendidikan SD, SLTP atau SLTA, adalah bekerja di pabrik-pabrik atau menjadi buruh tani di pedesaan.
Secara nasional persentase penduduk yang digolongkan bekerja penuh adalah berkisar 60,70%. Diperkotaan penduduk yang bekerja penuh sebesar 77,05% sedangkan di pedesaan hanya 50,59%. Dilihat dari jenis kelamin, lebih dari 65% penduduk laki-laki bekerja penuh dalam seminggu. Sedangkan perempuan masih di bawah 50%. Namun untuk pedesaan penduduk perempuan yang bekerja penuh sebanyak 39,92% jauh rendahnya dari anggka yang dicapai laki-laki 58,67%. Tabel berikut ini akan memperlihatkan jumlah jam kerja dalam seminggu, menurut jenis kelamin dan tipe daerah.
Selanjutnya juka ditinjau dari segi lapangan pekerjaan utama, penduduk perempuan yang terkategori bekerja sebanyak 65,55% perempuan pedesaan bekerja di sektor pertanian, dan sebesar 36,03 perempuan di perkotaan yang bekerja, mereka dengan lapangan usaha utama sektor perdagangan. Dilihat dari perbedaan gender, sektor perdagaangan dan industri di perkotaan maupun di pedesaan didominasi oleh perempuan. Sedangkan untuk bidang konstruksi dan komunikasi didominasi oleh laki-laki. Semakin jelas bahwa gejala ini mengindikasikan dan sangat erat kaitannya dengan partisipasi wanita di bidang pendidikan (yang rendah dibanding laki-laki), akibatnya perempuan lebih banyak bekerja di sektor pertanian dan menjadi buruh. Sedangkan laki-laki dengan pendidikan yang baik dapat lebih berpartisipasi di dunia kerja yang lebih baik.
Dengan melihat gejala atau kecenderungan partisipasi wanita di bidang pendidikan semakin jelaslah bagi kita bagaimana dampaknya terhadap partisipasi wanita di luar rumah. Dapat dikatakan bahwa partisipasi di bidang pendidikan dengan angkatan kerja memiliki hubungan yang sangat erat sekali. Kesetaaraan gender yang di inginkan wanita susah untuk di wujudkan jika si wanita partisipasinya di bidang pendidikan rendah.
Dengan demikian pendidikan perempuan yang baik akan berpengaruh kepada kehidupan ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan yang lainnya yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap angka fertilitas. Asumsi ini diperkuat dengan semakin meningkatnya peran ibu sebagai ibu sosial di lingkungannya. Nah, untuk terjun ke dalam masyarakat tersebutlah faktor pendidikan harus mendapat perhatian terlebih dahulu. Tanpa pendidikan yang memadai akan mustahil bagi perempuan untuk terjun ke sektor publik atau untuk mengemban tugas berat tersebut. Dengan meningkatnya partisipasi wanita di bidang pendidikan untuk kedepanya jumlah jam kerja dengan pendapatan yang memadai, akan bisa diraih perempuan. Namun akankah itu menjadi kenyataan atau hanya sekedar sebuah harapan, perbaikan kondisi perekonomian kita merupakan salah satu jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar